Setiap kemasan yang seharusnya berisi satu liter minyak goreng ternyata hanya memiliki sekitar 750-800 mililiter.
Dengan produksi mencapai 8 ton per hari atau sekitar 10.500 kemasan palsu, TRM berhasil menjual minyak goreng ini dengan harga Rp15.600 per kemasan, jauh di atas harga distributor resmi yang hanya Rp13.500. Dengan perbedaan harga ini dan pengurangan volume per kemasan, pelaku mampu meraup keuntungan hingga Rp600 juta per bulan.
Keuntungan besar ini diperoleh dengan cara:
- Mengurangi volume minyak dalam kemasan, sehingga bisa mendapatkan lebih banyak produk dari jumlah minyak yang sama.
- Menjual dengan harga di atas distributor resmi, memanfaatkan kelangkaan minyak goreng di pasaran.
- Menggunakan izin edar yang sudah tidak berlaku, sehingga tidak ada biaya legalitas yang perlu dikeluarkan.
- Memanfaatkan momen Ramadan dan Idul Fitri, di mana permintaan minyak goreng meningkat tajam.
Kerugian Negara: Dampak Ekonomi yang Signifikan
Di sisi lain, negara mengalami berbagai kerugian akibat praktik ilegal ini. Beberapa aspek utama yang dirugikan meliputi:
1. Kerugian Subsidi dan Pengendalian Harga
MinyaKita merupakan minyak goreng bersubsidi yang dirancang untuk membantu masyarakat mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau. Dengan adanya manipulasi ini, subsidi yang diberikan oleh pemerintah menjadi tidak efektif.
Ketika minyak goreng curah diubah menjadi MinyaKita palsu dan dijual dengan harga lebih tinggi, tujuan subsidi untuk menjaga harga tetap stabil menjadi tidak tercapai. Negara telah mengalokasikan anggaran besar untuk mengendalikan harga minyak goreng, tetapi praktik ini mengganggu keseimbangan pasar dan membuat subsidi tidak tepat sasaran.
2. Penyalahgunaan Domestic Market Obligation (DMO)
Minyak goreng bersubsidi di Indonesia diproduksi dengan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO), di mana produsen minyak sawit diwajibkan menyediakan sebagian produksinya untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga yang lebih murah.